Monday, April 30, 2012

Penyelesaian Sengketa Ekonomi


A.     Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :

“Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.”

Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
“Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.”
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya

B.      Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:

·         Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
·         Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
·         Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.

Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1.      adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2.      dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)

C.      Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1.      Negosiasi
Negosiasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.
Keuntungan Negoisasi :
·         Mengetahui pandangan pihak lawan
·         Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar piha lawan
·         Memungkinkan sengketa secara bersama-sama
·         Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh keduabelah pihak
·         Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hokum
·         Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu

Kelemahan Negoisasi :
·         Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak;
·         Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil
kesepakatan
·         Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang;
·         Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan
·         Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak
·         Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.

Prasyarat Negoisasi yang efektif :
·         Kemauan (Willingness) untuk menyelesaikan masalah dan bernegoisasi secara sukarela
·         Kesiapan (Preparedness) melakukan negoisasi
·         Kewenangan (authoritative) mengambil keputusan
·         Keseimbangan kekuatan (equal bergaining power) ada sebagai saling ketergantungan
·         Keterlibatan seluruh pihak (steaholdereship) dukungan seluruh pihak terkait
·         Holistic (compehenship) pembahasan secara menyeluruh
·         Masih ada komunikasi antara para pihak
·         Masih ada rasa percaya dari para pihak
·         Sengketa tidak terlalu pelik
·         Tanpa prasangka dan segala komunikasiatau diskusi yang terjadi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti

Tahapan Negoisasi menurut William Ury dibagi menjadi empat tahap yaitu :
·         Tahapan Persiapan
·         Tahap Orientasi dan Mengatur Posisi
·         Tahap Pemberian Konsensi/ Tawar Menawar
·         Tahapan Penutup

Bentuk dan Teknik Negosiasi:
·         Negosiasi kompetitif vs Negosiasi kooperatif (G. Williams)
·         Negosiasi bertumpu pada posisi (positional based) vs Negosiasi bertumpu pada kepentingan (interest based) (Fisher dan Ury)
·         Negosiasi bersifat keras (hard) vs Negosiasi bersifat lunak (soft) (Fisher dan Ury)
·         Negosiasi bersaing (menang kalah) vs Negosiasi kompromi (Gary Godpaster)

2.      Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian. Meskipun demikian septabilitas tidak berarti- para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga. Mediasi menurut P.1.6 PerMa No.2 Tahun 2003 : Yaitu suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dibantu oleh mediator.

Karakteristik Mediasi :
·         Intervesi mediator dapat diterima kedua belah pihak;
·         Mediator tidak berwenang membuat keputusan, hanya mendengarkan membujuk dan memberikan inspirasi kepada para pihak.

Sifat Mediasi :
·         Wajib (Mandatory) P.2 (1) atas seluruh perkara perdata yang diajukan kepengadilan Tk.1
·         Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses mediasi;
·         Hakim wajib memunda siadang dan memberikan kesempatan para pihak untuk mediasi;
·         Hakim wajib memberikan penjelasan ttg prosedur mediasi dan biayanya;
·         Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum maka setriap keputusan yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak;
·         Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untu umum, kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.

Hak memilih mediator oleh para pihak :
·         Mediator ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat dari dalam peradilan (hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai mediator, atau pihak dari luar pengadilan yang sudah bersetrifikat;
·         Jika para pihak dapat sepakat dalam memilih mediator maka ketua majelis hakim dapat menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar dalam PN tersebut;
·         Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama;
·         Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai mediator

Kewajiban Mediator :
·         Mediator wajib menyusin jadwal mediasi;
·         Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali kepentingan para pihak;
·         Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain;
·         Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis;
·         Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara;
·         Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari jika ada klausa yang bertentangam dengan hukum;
·         Setelah 22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka mediator wajib menyatakan secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan memberikan pemberitahuan kepada majelis hakim;
·         Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen, catatan mediator wajib dimusnahkan

Waktu dan Tempat Mediasi :
·         Paling lama 30 hari, bagi mediator di luar PN dapat di perpanjang;
·         22 hari setelah ditunjuknya mediator;
·         7 hari setelah mediator ditunjuk para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen perkara (duduk perkara, susrt-surat, dll );
·         Mediasi dapat diselengarakan disalah satu ruangan pengadialan atau tempat lain yang disepakati para pihak

Hal-hal lain yang perlu di perhatikan :
·         Para pihak dapat di dampingi oleh penasehat hukum;
·         Para pihak wajib menhadap kembali kepada majelis haim yang memeriksa perkara;
·         Kesepakatan hasil mediasi di tandatangani oleh para pihak dan dapat dikukuhkan majelis hakim sebagai akta perdamaian;
·         Mediator dapat melakukan kaukus;
·         Mediator dengan kesepakatan para pihak dapat mengundang ahli;
·         Jika mediasi gagal, maka pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti persidangan;
·         Mediator tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan;
·         Mediasi di pengadilan tidak di pungut biaya, sedangkan di tempat lain biaya di bebenkan kepada para pihak;
·         Mediasi oleh hakim tidak dipungut biaya, sedangkan mediator bukan hakim ditangung oleh para pihak atas kesepakatan.

3.      Arbitrase
Arbitrase sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
1. sederhana dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip konfidensial,
3. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a.      Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari:
(a) Biaya administrasi
(b) Honor arbitrator.
(c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
(d) Biaya saksi dan ahli.
b.      Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepat. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.

Kelebihannya antara lain:
·         Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
·         dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
·         para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
·         para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
·         putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Perbandingan Antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitase


sumber

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT



A.  PENGERTIAN
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli .
Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.

B.  ASAS DAN TUJUAN
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

C.  KEGIATAN YANG DILARANG
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2 adalah :
  • Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
  • Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya

D.  PERJANJIAN YANG DILARANG

Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut. Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
  • Oligopoli
  • Penetapan harga
  • Pembagian wilayah
  • Pemboikotan
  • Kartel
  • Trust
  • Oligopsoni
  • Integrasi vertical
  • Perjanjian tertutup
  • Perjanjian dengan pihak luar negeri

E.  Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan
  • Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
  • Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
  • Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut

Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1.     Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2.    Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3.  Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.

Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat
  • Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
  • Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
  • Efisiensi alokasi sumber daya alam
  • Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim
  • ditemui pada pasar monopoli
  • Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
  • Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
  • Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
  • Menciptakan inovasi dalam perusahaan

Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49. Pasal 48
a)    Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
b)   Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
c)    Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Pasal 49 Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.

SUMBER