A.
Pengertian
Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno.
Bentuk tunggal kata 'etika' yaitu ethossedangkan
bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan
arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti
dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukanatau ilmu tentang
adat kebiasaan (K.Bertens,
2000).
B.
Prinsip-Prinsip
Etika
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu
kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip
etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat
prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya.
Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip
etika pada umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum
profesional sejauh mereka adalah manusia.
Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah
satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan
sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang
profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri
menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata,
dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab
menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan
kata lain. Ia sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu
berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait
langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga
bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan
orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat
dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak
disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa
macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai
telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
Prinsip kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini
terutama menuntut orang yang
profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka
profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan
profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya
.prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan
perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya
.jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga
kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas
pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang
miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari
beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit
tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu
untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya
kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan.
Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional
dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang
banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan
orang tersebut.
Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan
prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka
diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini
merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum
profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak
luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama
ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai
otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan
pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional
itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan
kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan
kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional harus
diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi /
meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan
tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan
langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan
ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah
juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia
mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan
juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip
ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam
menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta
citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri
untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang
dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak
akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau
melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya.
Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk
tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara
yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang
diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang,
bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi
mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau
bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat
pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan
mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi
memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa
orang tersebut punya pendirian yang teguh,
khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini
(keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku profesi
(profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran
tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut,
melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam melayani
masyarakat.
C.
Basis Teori
Etika
1.
Etika Teleologi
Teleologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu telos yang memiliki arti tujuan. Dalam hal
mengukur baik buruknya suatu tindakan yaitu berdasarkan tujuan yang akan
dicapai atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan dari tidakan yang telah
dilakukan. Dalam tori teleologi terdapat dua aliran, yaitu.
a
Egoisme etis
Inti pandangan dari egoisme adalah tindakan
dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi
dan memajukan diri sendiri.
b
Utilitarianisme berasal dari bahasa Latin yaitu utilis yang
memiliki arti bermanfaat. Menurut toeri ini, suatu perbuatan memiliki arti baik
jika membawa manfaat bagi seluruh masyarakat ( The greatest happiness
of the greatest number ).
2.
Deontologi
Deontologi berasal
dari bahasa Yunani yaitu deon yang memiliki arti kewajiban.
Jika terdapat pertanyaan “Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus
ditolak karena buruk?”. Maka Deontologi akan menjawab “karena perbuatan pertama
menjadi kewajiban kita dank arena perbuatan kedua dilarang”. Pendekatan
deontologi sudah diterima oleh agama dan merupakan salah satu teori etika yang
penting.
3.
Teori Hak
Dalam pemikiran moral
saat ini, teori hak merupakan pendekatan yang paling banyak dipakai untuk
mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori hak ini
merupaka suatu aspek dari teori deontologi karena berkaitan dengan kewajiban.
Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia adalah sama.
Oleh karena itu, hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
4.
Teori Keutamaan ( Virtue )
Dalam teori keutamaan
memandang sikap atau akhlak seseorang. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai
disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan seseorang untuk
bertingkah laku baik secara moral. Contoh sifat yang dilandaskan oleh teori
keutamaan yaitu kebijaksanaan, keadilan, suka bekerja keras dan hidup yang
baik.
Sumber:
No comments:
Post a Comment